Lakon Kalimataya; Tentang
Kepantasan-kepantasan
1. Apa
yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ksatria dalam pertempuran dan perang?
Jawabannya begitu jelas: tidak ada yang tidak pantas yang dilakukan oleh
seorang ksatria dalam pertempuran dan perang! Mengapa demikian? Karena seorang
ksatria telah berlaku adil sejak sebelum perang itu terjadi. Adil seperti apa?
Adil untuk mencegah agar perang tidak terjadi; adil ketika memutuskan perang
memang harus terjadi, serta adil untuk membuat bagaimana sebuah perang harus
diakhiri. Bahkan saat seorang ksatria tidak mampu menghentikan peperangan, ia
tetap akan berupaya adil: membiarkan perang itu sendiri menghentikan
semuanya.Apa yang membedakan seorang ksatria dengan yang bukan-ksatria? Mereka
yang bukan-ksatria selalu terlambat berbuat adil atau bahkan lupa serta abai
terhadap keadilan, bahkan ketika perang telah usai. Yang bukan-ksatria
menghasut agar perang terjadi sementara orang ingin berdamai; memerintah orang
lain untuk maju perang sedang ia minum tuak dan menari; ketika ia menjadi orang
terakhir dalam menghadapi lawan, ia menyelinap sambil menyerapah di tempat ia
bersembunyi.
Apa yang tersisa dari sebuah perang,
khususnya perang antar-wangsa Barata? Bagi ksatria yang tersisa adalah harapan
untuk tumbuh, untuk bangkit. Bagi yang bukan-ksatria yang tersisa adalah tetap
kesumat: sebuah dendam untuk melanggengkan kekuasaan; sebuah hasrat untuk
kembali melakukan kesewenangan; dan politik penumpasan diam-diam, termasuk –
dan ini yang dilakukan – mencerabut nyawa para perempuan.
2. Mari kita hadir di hari itu:
waktu menjelang paripurna Baratayuda. Bala pasukan Kurawa dan semua panglima
Hastina menjelang sirna dan lampus. Di pihak Pandawa kelima putera Pandu masih
bugar.Di tepi Danau Dwaipayana, Bima, Kresna, dan Arjuna berdiri. Bertiga
memanggil keras Duryudana yang berlari dan bertenggelam ke danau itu. Kresna
menyindir agar Duryudana bersikap ksatria untuk laga pamungkas, tapi tidak
berpengaruh. Arjuna pun menegaskan tentang Hastina yang secara legal-sah
menjadi hak Pandawa, tapi tetap tidak membuat Duryudana naik ke permukaan.
Justru sebaliknya sulung dari Kurawa itu menyebut mereka bertiga “tak lebih
dari sekawanan serigala yang dengan licik sedang mengeroyok seekor singa”.
Tanpa jeda nafas, Arjuna pun meneruskan, “Mungkin maksudmu, seekor singa yang
diperanakkan oleh ayah yang buta?”Air menggelegak. Duryudana muncul meradang.
3. Siapa lawan Duryudana yang
gagah itu? Siapa yang pantas meladeni Raja Hastinapura? Tidak lain adalah Bima
yang sejak kecil menjadi rekan beradu tubuh dan nyali. Harga yang paling tepat
untuk keduanya: sama kuat, sama semangat, sama memburu, tapi beda niat. Sang
Raja menghantam sekuat penuh untuk melanjutkan kekuasaan dan menghancur-matikan
mereka yang berhak. Bima memalukan gadanya separuh tenaga ke paha lawan untuk
menghentikan arogansi sebuah tahta.Semar menganggap Bima bimbang dalam
bertarung. Baladewa memprotesnya sebagai curang!
4. Kalimataya (kali = zaman,
mataya = bergerak) akhirnya ditetapkan sebagai sebuah asma untuk gerakan baru,
julukan untuk Raja di episode pasca-klimaks perang besar. Menjelang puncak –
runtuhnya Duryudana – suasana hati pelaku pertempuran telah sampai di tahap
akhir pengharapan. Pihak Pandawa yang begitu optimis di atas puluhan tahun
penyiksaan-derita lahir batin melawan beberapa raga Hastina yang suluh
keangkaraannya menjelang padam.Suasana batin ini, baik Pandawa dan sisa Kurawa
(dalam hal ini khususnya Duryudana), begitu sulit dirasakan bagi mereka yang
tidak terlibat dalam roman besar itu. Pantaskah seorang Arjuna ‘menghujat’
Putra Destarastra itu? Seorang Arjuna yang dikenal halus budi, dengan
kesusilaan yang terjaga, harus menyampaikan serapah yang tidak sopan? Apakah
pantas seorang Bima bimbang dan ragu-ragu untuk mengakhiri laganya melawan Duryudana?
Seorang Bima yang telah merambah jagad kadewan itu memiliki kesangsian atas
dirinya? Ataukah ini semua merupakan tanda yang mengarah ke lain hal?
5. Seringkali sebuah teks
memang hadir begitu saja, kita terima seperti itu. Pengarang atau penulis tentunya
memiliki alasan untuk meruwat atau memilih kata yang begini atau begitu. Namun
setiap teks memang menjadi pasif ketika ia telah dinikmati atau disajikan. Ia
menjadi obyek yang bisa dijelaskan, ditafsirkan, dimaknai bebas. Mengapa
begitu? Karena penonton, pembaca, penikmat tidak mampu sepenuhnya berada dalam
nuansa atau suasana penulis/pengarang pada saat ia menciptakan teks tersebut.
Jika demikian, layakkah sebuah teks dikomentari? Salah satu jalan yang imbang
adalah cara membaca / model pembacaan terhadap teks itu. Ada yang mesti dirunut
dari lingkaran pembacaan ini: pengarang, teks, dan pembaca/penonton.Lakon
Kalimataya kiranya bukan sekedar nukilan sebuah episode drama Mahabarata.
Cuplikan sebagian kisah di masa akhir perang Baratayuda dan kemudian tampilnya
raja sementara Puntadewa di tahta Hastina merupakan puncak perjuangan
lahir-batin kedua pihak yang berseteru. Dalam lakon ini setidaknya ada makna
baru tentang pilihan: yang mana ksatria dan yang mana sebaliknya.Kalimataya
menjadi ambang batas bagi perlawanan terhadap dendam. Karena dendam adalah
benih yang semenjak awal telah disemaikan. Kemelut telah hadir mengiringi para
pendiri dan penggagas sistem pemerintahan Hastinapura. Duryudana pun, meski
telah kalah oleh Bima, tetap menyempatkan diri mewariskan dendam-pembalasan itu
pada Aswatama; yang nantinya cukup sukses mencerabut beberapa nyawa dari pihak
Pandawa, termasuk Banowati – figur di antara dua pihak.Masihkah kita bimbang
atas Arjuna atau Bima? Pun Puntadewa ketika gamang menduduki tahta? Tak ada
jawaban sepenuhnya yang memastikan boleh atau tidak. Tapi mungkin kita paham:
apakah Duryudana memang tidak pantas disebut sebagai pengecut?